TransSulteng-Depok - Pada malam terakhir Ramadhan, penulis menutup artikel berseri sebanyak 29 episode dengan sebuah puisi renungan berjudul "Kehilangan Ramadhan."
Penulis berharap, 29 seri sebelumnya menjadi bahan renungan bagi anak cucu kita di masa depan. Sebab, para pembaca di puluhan grup WA ini adalah "ikan-ikan kakap" yang telah pandai berenang puluhan tahun di samudera luas, sehingga tidak perlu ditunjuki dan diajari oleh penulis yang dhaif dalam ilmu agama.
Penulis hanya berusaha melaksanakan satu pesan Rasulullah SAW yang sangat sederhana:“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat saja.” (HR. Bukhari)
PUISI RENUNGAN: KEHILANGAN RAMADHAN
Ramadhan menghilang,Membawa sejuta kenangan,Suka… duka Tercatat cermatDalam database abadi.
Syawal menjelang,Bersama setumpuk harapan,Sejauh mata memandang…Bersama rakyat kecil, nun jauh…Pedalaman Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Terkadang…Kita terseretKe sana, ke sini,Ke kanan, ke kiri,Oleh koruptor, oligarki, penguasa zalim,Dan corruptors fight back agent.
Aduh…Terkadang kita uring-uringan,Bahkan terlanjur berbuat salah,Termasuk saya pribadi.
Untung saja…Ramadhan menembus kaki langit,Menusuk dalam,Sanubari yang fitri.
Bersama Kode Etik, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan,Al-Qur’an dan As-Sunnah,Kita tetap tegak,Menyatu dalam jabatan tangan,
Bersama pengemis, gelandangan, fakir, miskin, yatim, piatu,Petani, nelayan, pedagang kaki lima, pegawai kecil,
Dalam pelukan pertiwi yang adil, makmur, sejahtera,Demokratis, aman, dan damai.
Kini…Dalam ukhuwah Islamiyah,Jarum lidah yang terselip salah,Gerak hati yang buruk sangka,Menyatu dalam susur sepuluh jari tangan.
Mohon maaf lahir batin,
Minal ‘aidin wal faizin.
Taqabbalallahu minna wa minkum. (Syarif)