Oleh: Abdullah Hehamahua
Depok - Manusia, sejatinya, ketika berada di dalam ruangan gelap, tidak bisa melihat apakah ada ular, kalajengking, atau serangga berbisa lainnya. Namun, sewaktu ada seberkas cahaya menyelinap masuk, muncul harapan dan optimisme. Itulah Al-Quran sebagai pemandu manusia sejagat.
Manusia memiliki harapan untuk menemukan jalan hidup yang benar, menjadi pribadi yang unggul bagi diri sendiri, keluarga, tetangga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Konsekuensi logisnya, manusia tersebut harus menjadi seorang muttaqin. Konsekuensi logis selanjutnya, ia adalah seorang muslim atau muslimah yang secara istiqamah melaksanakan segala perintah dan meninggalkan semua larangan Allah SWT.
Semua itu hanya bisa diperoleh melalui Al-Quran, kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebab, Al-Quran selain sebagai petunjuk dan penjelas, juga berfungsi sebagai pembeda.
Kebenaran manusia bersifat relatif. Sebab, selain subjektif, kebenaran manusia dipengaruhi oleh informasi, pengetahuan, dan kondisi tertentu. Tongkat kayu yang lurus, misalnya, ketika dimasukkan ke dalam air akan tampak bengkok. Ini menunjukkan bahwa mata manusia dapat tertipu karena pembiasan cahaya.
Sains pun mengalami hal serupa. Pada tahun 1950-an, sains menyatakan bahwa benda terkecil di bumi adalah molekul. Namun, beberapa tahun kemudian ditemukan bahwa benda terkecil adalah atom. Bahkan, dalam atom terdapat neutron dan proton.
Saat ini, dunia kesehatan menyebutkan bahwa kanker dan HIV tidak memiliki obat. Namun, Al-Quran menegaskan bahwa tidak ada penyakit yang tidak memiliki obat. Apakah Al-Quran berbohong?
Di sinilah fungsi Al-Quran sebagai pembeda. Al-Quran menyatakan bahwa ilmu manusia terbatas, sedangkan ilmu Allah tidak terbatas. Jika seluruh lautan dijadikan tinta dan semua daun dijadikan kertas, tetap tidak cukup untuk menuliskan ilmu Allah SWT.
Maknanya, jika saat ini para dokter mengatakan bahwa kanker dan HIV tidak dapat disembuhkan, itu karena ilmu pengetahuan belum sampai pada tahap menemukan obatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
"Berobatlah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya." (HR Ahmad)
Pemerintah menganggap bahwa riba bermanfaat bagi pendapatan negara. Dengan kata lain, riba dianggap sebagai sesuatu yang baik. Padahal, Al-Quran menyebutkan bahwa riba itu buruk, sebagaimana firman Allah SWT:
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah: 275)
Dampak negatif dari riba adalah negara terbebani dengan bunga utang yang sangat besar. Sebagai contoh, bunga utang Indonesia pada tahun 2024 mencapai Rp498,95 triliun. Wajar jika Rasulullah SAW bersabda:
"Memakan riba sama dengan menzinahi ibu kandung sendiri." (HR Al-Hakim)
Pemerintah Indonesia juga melarang pegawai negeri sipil (PNS) untuk berpoligami, padahal Al-Quran memperbolehkan seorang suami yang mampu dan adil untuk menikah lebih dari satu istri. Dampak negatifnya, banyak suami yang berselingkuh atau menikah secara siri.
Rasulullah SAW sejak muda dikenal dengan gelar Al-Amin, yang berarti orang yang dapat dipercaya. Berkat kejujurannya, beliau diangkat sebagai nabi dan rasul pada usia 40 tahun.
Di Indonesia saat ini, orang yang jujur justru dikriminalisasi, dipenjara, atau diberhentikan dari jabatannya. Bahkan, ada yang dibunuh. Sebaliknya, pendusta, penjahat, dan koruptor justru diangkat menjadi pejabat, menteri, bahkan presiden atau wakil presiden.
Dampak negatifnya, negara mengalami kerugian hingga ribuan triliun rupiah akibat korupsi yang mereka lakukan. Sebab, pejabat, menteri, atau presiden tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Bahkan, mereka juga tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Akibatnya, banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, menderita penyakit, dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak akibat kebijakan pemimpin yang tidak mengacu pada nilai-nilai Al-Quran. Lebih tragisnya lagi, sumber daya alam Indonesia seperti hutan, laut, dan tambang dikuasai oleh oligarki, pihak asing, dan pihak aseng yang tidak menjadikan Al-Quran sebagai pembeda.
Al-Quran sebagai pembeda merupakan satu-satunya pedoman yang terakreditasi secara ilmiah untuk menentukan kebenaran dan keburukan suatu individu, kelompok, konsep, atau ideologi. Menjadi rakyat biasa yang jujur, berperilaku baik, dan bekerja secara optimal lebih mulia daripada menjadi presiden yang dusta dan korup.
Marilah, pada pertengahan Ramadhan ini, kita mengoptimalkan fungsi Al-Quran sebagai pembeda dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, maupun di tingkat internasional.
Dampak positifnya, kita dapat meraih medali takwa pada 1 Syawal nanti, InsyaAllah!(Red)
(Depok, 14 Maret 2025)