TransSulteng - Semarang - Beberapa sopir Trans Semarang mengungkapkan dugaan adanya pemotongan uang makan yang dilakukan oleh manajemen. Berdasarkan pengakuan sejumlah sopir yang ditemui tim Berita Istana, uang makan yang seharusnya mereka terima sebesar Rp 127.050 per hari, namun yang diberikan hanya Rp 50.000. Dugaan pemotongan ini terjadi sejak tahun 2019 hingga saat mereka keluar dari Trans Semarang koridor 7.(30/7/24)
Selain itu, terdapat juga dugaan rekayasa surat izin yang digunakan untuk keperluan medis. Beberapa sopir mengaku bahwa surat izin tersebut dianggap palsu dan digunakan oleh pihak yang tidak berwenang, termasuk pegawai rumah sakit yang bekerja sama dengan perusahaan Trans Semarang.
"Saya melihat ketidakadilan ini sangat merugikan para sopir. Kalau tidak ada tindakan, saya akan melaporkan kasus ini ke pihak berwenang," ujar salah satu sopir yang tidak ingin disebutkan namanya.
Berdasarkan informasi yang diterima, setiap driver yang melamar ke Trans Jateng diharuskan membayar sejumlah Rp 15.000.000. Hal ini semakin menambah beban para sopir yang sudah merasa dirugikan oleh pemotongan uang makan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua LSM Garuda Indonesia Maju, Guntur Adi Pradana, SH, MH, menyatakan akan melaporkan dugaan ini ke pihak berwajib.
"Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Hak-hak para sopir harus dipenuhi dan tidak boleh ada pemotongan yang tidak jelas seperti ini," tegas Guntur.
Sementara itu,Kepala Perwakilan Wilayah (Kaperwil) Jawa Tengah dari Berita Istana, bertemu dengan Haris, pimpinan Trans Semarang, untuk mendapatkan klarifikasi mengenai beberapa isu yang beredar terkait operasional Trans Semarang. Haris menjelaskan bahwa semua proses operasional dilakukan oleh pihak ketiga.
"Kami sampaikan, semua dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut adalah dari perusahaan pemenang penyedia jasa. Setiap koridor memiliki pemenang dan penyedia jasa masing-masing. Ada 12 koridor, dan mereka adalah mitra kami," jelas Haris.
Haris menambahkan bahwa biaya operasional kendaraan (BOK), gaji driver, dan tunjangan juga diatur oleh pihak ketiga. "Biaya operasional kendaraan, gaji driver, dan tunjangan sebesar Rp 1.000.000 semuanya dikelola oleh pihak ketiga," ungkapnya.
Penjelasan dari Haris ini diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai operasional Trans Semarang dan menjawab berbagai pertanyaan publik terkait manajemen dan pelaksanaan layanan transportasi tersebut.
Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat pentingnya transparansi dan keadilan dalam praktik perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan. Para sopir Trans Semarang berharap masalah ini segera diselesaikan demi kebaikan bersama.