TransSulteng-Kota palu - Konflik agraria di wilayah Sulawesi Tengah seakan menjadi time bomb menyeruak ke permukaan publik.
Seakan tidak ada habisnya sejumlah perusahaan perkebunan sawit melakukan praktek-praktek perampasan lahan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat adat Suku Wana, Tau Taa Burangas yang berada di Desa Winangabino, Desa Lijo, Desa Sea, Desa Parangisi, Desa Ue Pakatu, dan Desa Manyo’e di Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali Utara
Masyarakat adat yang sudah hidup turun temurun memelihara dan menjaga hutan, perlahan tersingkirkan karena aktifitas perusahaan perkebunan sawit PT Karunia Alam Makmur.
Perusahaan perkebunan sawit ini melakukan praktek perkebunan di atas lahan adat masyarakat Tau Taa Burangas, padahal diketahui bahwa wilayah adat Tau Taa Burangas telah dilindungi oleh Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.
Penjelasan tersebut di atas, disampaikan aktivis agraria, Eva Susanti Hanafi Bande (Eva Bande) dalam press relleasnya belum lama ini di Kota Palu.
Dikatakannya, dalam Perda tersebut sangat jelas tertera pada pasal 7 ayat 1 dan 2, bahwa pemerintah wajib
memberikan perlindungan terhadap wilayah hukum Adat Suku Wana.
Perlindungan Pemerintah terhadap masyarakat Suku Wana dilakukan melalui :
a. Memberi kebebasan kepada masyarakat hukum adat Suku Wana untuk menjalankan kehidupan sosialnya sesuai nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut.
b. Menjamin dan melindungi berlakunya hukum adat masyarakat Suku Wana, yang dipertahankan sesuai tatanan yang ada oleh lembaga adat.
c. Menjamin dan melindungi wilayah hukum adat Suku Wana.
Praktek yang dilakukan salah satu perusahaan yang melanggar Peraturan Daerah tersebut kata Eva Bande, merupakan bentuk dari pembangkangan konstitusi, serta memperlihatkan ke public bahwa negara takluk dihadapan investor.
Dalam keterangannya, Eva Bande yang merupakan Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah mengatakan, konflik agraria di Sulawesi Tengah seperti tidak ada ujungnya, satu persatu letupan konflik terus muncul diakibatkan oleh ekspansi perusahaan sawit.
"Kami dari FRAS Sulteng mendesakPemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk menghentikan aktifitas perusahaan yang beroperasi di dalam wilayah adat Suku Tau Taa Wana Burangas, serta melakukan
pemulihan hak hidup masyarakat adat" ungkap Eva Bande belum lama ini.
Dikatakannya, pemimpin negara setiap tahunnya merayakan hari kemerdekaan dengan menggunakan pakaian
adat, namun tidak kelihatan perlindungan negara terhadap masyarakat adat yang berada di daerah-
daerah terpencil yang menjadi korban ekspansi perusahaan perkebunan skala besar.
Masyarakat adat, lanjut Eva, selalu terpinggirkan ketika terjadi konflik agraria, akan tetapi selalu menjadi
sanjungan ketika mendekati momentum politik, seperti apa yang dikatakan oleh Ketua Adat Desa Winangabino. "Kami menuntut hak kami agar dikembalikan kepada masyarakat, kami tidak pernah memberikan persetujuan untuk aktifitas perusahaan perkebunan sawit, terus terang kami merasa hidup di sana itu seperti hanya diberi lahan oleh perusahaan, padahal lahan yang perusahaan kelola tersebut adalah
lahan kami, sawit sudah ditanam sejak tahun 2012 oleh perusahaan, kami juga tidak mengetahui ada izin dari perusahaan berupa HGU, termasuk pemukiman warga diklaim masuk areal HGU.
Ia menambahkan, masyarakat sudah berulang kali bertemu dengan pemerintah namun tidak ada penyelesaian. "Kami menganggap pemerintah ini ada untuk melindungi masyarakat, jangan pemerintah ada ketika mendekati musim politik" tandas Yohan Bone.BAMS.